Selasa, 11 November 2008

BUDAYA DAN MASYARAKAT INDONESIA

“SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA”










BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah
Budaya dan masyarakat adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, dimana masyarakat menurut Peter L. Berger merupakan suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya . Dari masing-masing individu manusia yang tergabung dalam kesatuan inilah maka terbentuklah masyarakat, dimana dalam konteks ini manusia dalam pemenuhan martabat kemanusiaannya mereka menjalin hubungan satu sama lain, sehingga terbngunlah sebuah proses interaksi, dari interaksi yang dilakukan inilah maka lahir peraturan, adat istiadat, norma dan kebiasaan yang diciptakan oleh manusia guna menjaga dan mengatur perilakunya dalam kehidupan sehari-hari agar tidak menyimpang dan menjaga keharmonisan hubungan yang terjalin yang disebut budaya.
Pengertian kebudayaan sendiri meliputi bidang yang luasnya seolah-olah tidak ada batasnya, sehingga sukar sekali untuk mendapatkan batasan pengertian atau definisi yang tegas dan terperinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalam pengertian tersebut. Dalam buku Manusia dan Kebudayaan karya Rafael, kebudayaan di definisikan sebagai a design for living, suatu design kehidupan (Kluckhohn, 1949) dimana perkembangan manusia tergantung pada sosialisasi, yakni suatu proses interaksi secara terus-menerus yang memungkinkan manusia memperoleh identitas dirinya serta keterampilan-keterampilan social. Namun untuk menjadi manusia orang tidak hanya belajar satu cara. Isi sosialisasi bervariasi dari masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Melalui sosialisasi inilah manusia memperoleh kebudayaan dari masyarakat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Di dalam lingkungan kebudayaan masyarakatnya itulah manusia belajar tentang design for living yang khas.
Kebudayaan juga didefinisikan sebagai a set of control mechanism, seperangkat mekanisme control – rencana, resep-resep, peraturan, konstruksi, apa yang oleh para ahli computer disebut program untuk mengatur perilaku (Geertz, 1973) . Dalam karyanya Primitive Culture (1871 : 1), Antropolog Inggris, Sir Edward B. Taylor menggunakan kata kebudayaan untuk menunjuk “keseluruhan kompleks dari ide, gagasan, dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya”. termasuk disini ialah “pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan serta perilaku lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat” . Dari semua definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan sangatlah kompleks, mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota kelompok masyarakat melalui proses belajar, hal ini tercermin dari cara khas manusia untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungan tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
Oleh karena itulah budaya di masing-masing Negara tidaklah sama, bahkan di Indonesia, seperti yang kita semua ketahui mempunyai bermacam-macam suku adat dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai macam factor, seperti iklim, letak geografis, juga tinggi rendahnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakatnya. Namun semua perbedaan itu telah disatukan oleh pedoman bangsa kita yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun seiring berjalannya waktu, sejarah budaya masyarakat Indonesia hampir selalu mengalami pergeseran budaya yang menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Dan kini masyarakat Indonesia terkesan mulai meninggalkan budaya aslinya.

B. Rumusan Masalah
1. Definisi Bhinneka Tunggal Ika
2. Sejarah Perkembangan Budaya dan Masyarakat Indonesia
3. Fenomena Budaya : Sentralisasi Budaya

C. Tujuan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sistem Sosial Budaya Indonesia” makalah ini ditulis dengan tujuan untuk menambah wawasan dan meningkatkan jiwa nasionalisme kita mengenai keadaan masyarakat dan budaya sebagai karya cipta manusia dalam rangka pemenuhan martabat kemanusiaannya. Makalah ini membahas baik sejarah maupun fenomena budaya yang muncul akhir-akhir ini. Dan diharapkan pula makalah ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan bagi mahasiswa dalam mengkaji kebudayaan bangsa kita.

BAB II
Pembahasan

A. Definisi Bhinneka Tunggal Ika
Indonesia merupakan Negara kepulauan, dimana letak geografis dan iklim masing-masing pulau berbeda-beda, oleh karena itulah menghasilkan kebudayaan yang berbeda-beda pula. Namun perbedaan ini telah disatukan oleh pedoman bangsa kita yang tertera pada lambang Negara Indonesia Pancasila, berupa tulisan yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika”, yang sering diartikan berbeda- beda tetapi satu jua. Dimana perbedaan suku, agama, ras, dan budaya itu merupakan kekayaan dan keragaman bangsa yang indah dan semua adalah satu bagian dari Negara Kesatuan Indonesia.
Arti Bhinneka Tunggal Ika berbeda-beda tetapi satu jua berasal dari buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular / Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, dan bahasa yang sama.
Seperti yang kita fahami atau hayati, Bhinneka Tunggal Ika mengandung pesan : berbeda-beda tetapi satu, bersatu dalam perbedaan, kesatuan dalam keragaman. Wawasan agung inilah yang telah ditegakkan oleh para pejuang kemerdekaan dan para pembangun bangsa Indonesia dalam tahun 20-an. Dengan menyimak lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengan lambang negara kita itu, maka makin jelas pulalah keagungannya.
Penduduk Indonesia terdiri dari sekitar 300 suku, dan menggunakan bahasa dan dialek yang khas daerah masing-masing. Mereka menghuni ribuan pulau di Indonesia. Di antara penduduk yang begitu besar itu memeluk berbagai macam agama dan aliran kepercayaan yang berbeda pula, seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Tionghoa. Dari uraian ini maka nyatalah bahwa bangsa Indonesia memang terdiri dari beraneka ragam suku, agama (atau kepercayaan), adat-istiadat, kebiasaan hidup sehari-hari, dan berbagai aspek lainnya.
Kita mengetahui bahwa gerakan politik rakyat untuk melawan kolonialisme Belanda, telah mempersatukan atau menyatukan berbagai golongan, suku dan agama, dan aliran politik dalam semangat Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang mengikrarkan : _satu bangsa, satu tanah-air dan satu bahasa. Dari sudut pandang inilah kiranya kita bisa menilai betapa besarnya arti lambang Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan produk perjuangan yang begitu panjang oleh para perintis kemerdekaan dan pejuang pembebasan nasional.

B. Sejarah Perkembangan Budaya dan Masyarakat Indonesia
Kebudayaan Indonesia di masa lalu diwarnai oleh dualisme . Dimana terdapat dua unit yang terpisah, antara budaya keraton / kerajaan dengan budaya masyarakat desa, bahkan saling bertentangan sehingga menimbulkan kesenjangan social. Seperti halnya system pemerintahan masa lalu yang dikuasai oleh kerajaan, dimana semua sarana produksi dan tata aturan mutlak di kuasai oleh sang raja, sehingga dominasi kebudayaan keraton memancarkan sinarnya ke kebudayaan desa, namun tidak sebaliknya. Adanya golongan abdi dalem hanya mempertegas dominasi kraton terhadap budaya baku dan pembakuan budaya. Seperti itulah penyebaran kebudayaan tinggi terjadi di lingkungan budaya rakyat, sehingga budaya kratonlah yang terpaksa menjadi panutan budaya rakyat.
Pembudayaan desa bertujuan menegaskan legitimasi penguasa untuk melaksanakan tata tertib dan pelapisan social. Akibatnya system kebudayaan yang seutuhnya telah didaku (Bahasa Jawa : dianggap milikku) oleh pusat kerajaan sebagai pusat kreativitas yang sah. Sebaliknya, desa hanya diakui daerah pinggiran budaya dan kreativitasnya hanya dianggap sebagai karya yang belum selesai dan mentah. Pembedaan kebudayaan secara kategories diberi sanksi-sanksi magis, sehingga tembok pemisahnya tidak dapat ditembus .
Demikianlah dualisme budaya tersebut terpelihara dengan adanya jarak dan perbedaan status social antara kelas kerajaan – ratu, sentana, mantra, dan abdi dalem – dengan kelas rakyat atau wong cilik. Dan hal ini pun berlaku antara pemerintahan pusat dan daerah. Loyalitas yang diberikan seorang bawahan kepada atasannya adalah loyalitas yang tanpa pamrih. Kritik dan koreksi mustahil bisa dilakukan oleh bawahan, karena itu akan dianggap sebagai rongrongan dan pembangkangan. Loyalitas diberikan kepada orang/pribadi, bukan kepada sistem; kepada pemimpin, bukan kepada kepemimpinan.
Fenomena budaya yang demikian bersumber dari budaya feodal (Jawa) pasca Mataram. Romo Mangunwijaya dalam ceramahnya sepuluh tahun yang lalu di Rickuniversiteit of Leiden, mengatakan bahwa budaya Jawa pasca Mataram itu adalah budaya yang telah direkayasa oleh pemerintah Kolonial Belanda. Budaya tersebut direkayasa untuk kepentingan kolonial dan melemahkan potensi masyarakat atau rakyat. Akan berbeda sekali budaya Jawa yang demikian dengan budaya Jawa era Majapahit atau budaya Jawa kerajaan-kerajaan Islam Jawa.
Feodalisme budaya Jawa pasca Mataram itulah yang kemudian muncul sebagai ''feodalisme baru'' di dalam kehidupan bangsa Indonesia (yang tidak hanya terbatas untuk masyarakat Jawa). Nuansa feodalisme itu amat terasa di dalam birokrasi pemerintahan, pengelolaan ekonomi (yang tidak berpihak kepada rakyat), perlakuan hukum, dan sistem politik.
Feodalisme baru ini terasa amat dominan di masa Orde Baru. Ia telah merasuk ke tingkat dan lapisan masyarakat yang paling rendah : Ke desa-desa, kecamatan-kecamatan, kabupaten-kabupaten, propinsi-propinsi, di seluruh wilayah administrasi dan wilayah budaya di Indonesia.
Feodalisme baru ini tidak lagi dihubungkan dengan orang atau masyarakat Jawa dan non-Jawa. Cukup banyak tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang tidak menganut atau mengamalkan nilai-nilai feodal itu, Sebaliknya, banyak tokoh-tokoh dari masyarakat Minangkabau, Aceh, Melayu, Bugis, Sunda, dan lain-lain, justru amat bersifat feodal. Dan itu mungkin menteri atau mantan menteri, gubernur, bupati, camat, dirjen, kakanwil, atau pejabat-pejabat yang lain. Jelas sikap budaya yang demikian bukan saja tidak relevan dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang modern dan majemuk, tetapi lebih jauh akan merusak dan menghambat proses perubahan yang terjadi di dalam menghadapi tantangan global.
Seiring berkembangnya zaman, kebudayaan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan social yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan social selanjutnya terjadi dengan munculnya kelas menengah di kota-kota, terdiri dari golongan intelektual, pedagang, dan pengusaha. Pada mulanya golongan kelas menengah ini tidak memusatkan perhatian kepada masalah kebudayaan, tetapi memusatkan perhatian kepada masalah-masalah politik dan ekonomi, hal ini menyebabkan lahirlah kebudayaan baru. Gerakan budaya baru itu berarti perubahan paradigmatic ; budaya baru, teknologi baru, locus baru, dan kotalah yang manjadi locus budaya baru. Pusat kreativitas berpindah dari desa ke kota, dari keraton ke gedung bertingkat. Gerakan budaya baru ini terasa agresif karena didukung oleh adanya fasilitas tekhnologi baru. Sejak saat itulah dapat dikatakan bahwa sebuah Kebudayaan Nasional telah terbentuk dan secara simbolis tertera dalam Sumpah Permuda 1928 bersamaan dengan lahirnya kelas menengah.
Budaya tradisional tidak lagi menjadi lambang status social, siapa saja yang mampu mengangkat dirinya secara ekonomi, social, dan intelektual dapat menjadi bagian dari budaya tinggi. Bangkitnya kebudayaan modern di kota-kota sejak lahirnya Kebudayaan Nasional merebut tempat kebudayaan tradisional sebagai budaya yang sah bagi generasi mendatang, karena dianggap sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa. Disinalah secara sadar maupun tidak sentralisasi budaya perlahan tapi pasti mulai terjadi. Kebudayaan tradisional kemudian hanya mendapat tempat sebagai kedbudayaan daerah. Sifat budaya tradisional yang berwarnalokal, berbahasa local, dan berbudaya local menyulitkan pengangkatan mereka menjadi budaya Nasional. Kita masih menganggap mereka sebagai budaya daerah, dan menempatkannya ke dalam kerangka konsep pluralisme budaya.

C. Sentralisasi Budaya
Malapetaka yang sekarang menimpa bangsa ini pada hakikatnya disebabkan oleh distorsi atau ''salah kaprah budaya''. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di dalam berbagai tingkatan adalah akibat dari budaya feodal yang tidak relevan lagi. Demikian juga halnya dengan tidak transparannya sebuah manajemen dan sikap arogansinya kekuasaan. Berbagai ketidakpuasan yang dirasakan daerah dan berbagai kelompok masyarakat diakibatkan oleh ''sentralisasi budaya'' yang jelas mengingkari kemajemukan budaya bangsa.
Sentralisasi budaya tersebut, pada satu pihak akan mematikan potensi-potensi budaya yang dimiliki daerah-daerah dan berbagai etnis yang ada di Nusantara, dan di pihak lain budaya yang terbangun melalui proses tersebut adalah budaya yang sepuh. Proses seperti itu, yakni proses yang disebut John Naisbitt sebagai global paradox, mengglobal seraya tetap memelihara identitas, akan membuat bangsa menjadi semakin kukuh.
Berbagai kesenjangan yang terjadi, kesenjangan ekonomi, kesenjangan pendidikan, kesenjangan budaya (khususnya kesenian dan kesenjangan-kesenjangan lainnya), juga diakibatkan oleh proses sentralisasi budaya. Urbanisasi, perpindahan penduduk ke kota-kota, lebih berbentuk penyedotan potensi desa-desa. Desa berkonotasi kemiskinan, sedang kota menjanjikan kemewahan. Desa belum bisa berperan sebagai lumbung produksi, sedang kota hanyalah sumber ilusi.
Di daerah-daerah seyogianya dikembangkan pusat-pusat kebudayaan yang dapat menjadi pusat-pusat kajian, pusat-pusat informasi, dan pusat-pusat kreativitas. Pusat-pusat kebudayaan tersebut harus membuat nilai-nilai budaya daerah atau etnis menjadi nilai budaya bangsa. Untuk membuat pusat-pusat kebudayaan tersebut fungsional, diperlukan suatu strategi kebudayaan dan kebijakan budaya yang mendukung, yakni strategi dan kebijakan ''desentralisasi kebudayaan''. Strategi dan kebijakan budaya tersebut menyangkut segenap sektor budaya: Ekonomi, pendidikan, permukiman, dan lain-lain sektor.
Penumpukan kekayaan memang direkomendasi oleh budaya feodal. Seorang pemimpin menjadi andalan bagi kelangsungan hidup keluarga, clan, dan kroni-kroninya. Kelangsungan hidup itu tidak hanya sebatas satu generasi, tetapi juga disiapkan untuk generasi-generasi berikutnya. Penghargaan terhadap seseorang ditentukan oleh kedekatannya dengan sang pemimpin atau penguasa. Karena itu anak atau famili presiden, gubernur, bupati, menteri, pangdam, dan pejabat-pejabat lainnya, jauh lebih dihormati (ditakuti) dibandingkan dengan orang-orang yang profesional atau berprestasi.


BAB III
Penutup

Kesimpulan
Budaya dan masyarakat adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, dimana budaya merupakan hasil karya cipta dan cita-cita masyarakat untuk pemenuhan martabat kemanusiaannya, masyarakat adalah wadah dan budaya adalah isinya. Indonesia merupakan Negara kepulauan, dimana letak geografis dan iklim masing-masing pulau berbeda-beda, sehingga menghasilkan kebudayaan yang berbeda-beda pula. Namun perbedaan ini telah disatukan oleh pedoman bangsa kita yang tertera pada lambang Negara Indonesia Pancasila, berupa tulisan yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika”, yang sering diartikan berbeda- beda tetapi satu jua. Dimana perbedaan suku, agama, ras, dan budaya itu merupakan kekayaan dan keragaman bangsa yang indah yang dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, dan bahasa yang sama, dan kesemuanya adalah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebudayaan Indonesia di masa lalu diwarnai oleh dualisme. Dimana terdapat dua unit yang terpisah, antara budaya keraton / kerajaan dengan budaya masyarakat desa, bahkan saling bertentangan sehingga menimbulkan kesenjangan social akibat adanya dominasi kebudayaan keraton terhadap kebudayaan rakyat. Seiring berkembangnya zaman, kebudayaan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan social yang terjadi dalam masyarakat. siapa saja yang mampu mengangkat dirinya secara ekonomi, social, dan intelektual dapat menjadi bagian dari budaya tinggi. Sejak saat itulah maka lahir Kebudayaan Nasional, yang merebut tempat kebudayaan tradisional sebagai budaya yang sah bagi generasi mendatang, karena dianggap sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa. Disinalah secara sadar maupun tidak sentralisasi budaya perlahan tapi pasti mulai terjadi.
Alangkah baiknya apabila kita sebagai manusia yang dikarunia akal dan pikiran mampu memahami dan melahirkan ide-ide dan karya baru sebagai hasil budaya yang mewujudkan manusia beradab dan menghindari terjadinya distorsi budaya. Selalu menjunjung budaya Nasional sebagai sentralisasi budaya tidak selamanya membunuh budaya local, jika itu merupakan wujud Persatuan dan Kesatuan bangsa, dan kita tetap mempunyai kewajiban untuk terus melestarikan budaya local sebagai kekayaan dan keragaman budaya bangsa yang indah. Budaya gotong royong, sikap malu dan kesederhanaan; yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia; dapat menjadi modal dan cermin bagi bangsa kita untuk lebih maju.

DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo, Budaya Dan Masyarakat, Yogyakarta ; PT. Tiara Wacana Yogya, 1987
Raga Maran, Rafael, Manusia Dan Kebudayaan, Jakarta ; Rineka Cipta, 2000
Santoso, Thomas, Sosiologi Dan Politik, Surabaya ; Universitas Kristen Petra, 1997
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta ; Universitas Indonesia, 1977
Soemardjan, Selo, Masyarakat Dan Kebudayaan, Jakarta ; djambatan, 1988
Suparlan, Parsudi, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya, Jakarta ; CV. Rajawali, 1984
www.wikipedia_budayadanmasyarakatindoneisa.com

Rabu, 05 November 2008

bisakah kita berproses bersama?


dewasa ini segala sesuatu sudah sangat dipermudah oleh sains dan teknologi, tapi sayang... gak semuanya memanfaatkan dengan baik dan benar.
dengan ini saya mengajak seluruh entitas dari semua elemen untuk gabung lewat blog ni... atau setidaknya mampirlah di blogku,,, mungkin kita bisa ngobrol sambil ngopi,,, sharing or transfer ilmu itu yang aku harapkan. so!! gabung aja BOSS!!